Ketika Kondangan menjadi "Main Stream"

"Eh, kemaren gue dapet undangan sekaligus lima dalam satu hari meeeen!"
"Dapat undangan mulu bro, kapan di-kondangan-in nya?"
"Wuih ga nyangka yak! si A ga ada kabar pacaran, tau-tau nikah. Mungkin ta'arufan yak?"
"Lu mau kapan nyusul? tunggu mapan dulu?"


dsb

Yap kalimat seperti itu dan masih banyak lagi versinya itu sekarang sering berkeliaran di kehidupan saya. Yap, I'm 23 and still single! Usia dimana kakak kelas ngasih undangan (ini mah wajar yak), temen sebaya ikut nyebar undangan (hmm masa emas mungkin), dan si adek kelas unyu pun turut meramaikan undangan yang mampir di meja (ya mungkin jodohnya dekat).

Buat saya pribadi, di usia kini pun berasaaaa banget doa-doa yang terurai dari orang sekitar tiap mau kondangan atau dapet undangan. "eh dateng ya ke acara gue, biar ketularan!"  atau  " ambil tuh melati si pengantin, tapi jangan ketauan yak! biar tahun depan lu nyusul dia tuh".

Alhamdulillah nya mereka mendoakan yang terbaik tuk saya. Mungkin di usia kini menurut orang secara umum itu sudah pantas dan memang usianya mempunyai jenjang kehidupan yang baru. Namun bagi saya, membangun keluarga baru itu bukan perkara sebar undangan udah deh jadi. Tapi dibenak saya, apakah keluarga yang saya dan suami masa depan saya itu bina adalah keluarga yang Rasul telah contohkan? Profesi saya yang dekat dengan lingkungan anak jaman sekarangpun sering membuat saya mengusap dada dan berharap anak ku kelak tak mengalami kerusakan moral tersebut. Sehingga beberapa pertanyaan dibenakpun muncul.

Sudahkah saya memantaskan diri tuk suami ku kelak?
Sudahkah saya banyak belajar sebagai bekal menjadi menantu yang disayang mertua?
Sudahkah saya mengeksplor diri tuk berusaha banyak tau hal agar anak-anakku kelak menjadikan ku tempat pertama mereka bertanya apapun?
dan yang dalam diri ini masih merasa hal ini lebih penting dibanding semua diatas adalah;
Sudahkah saya memberikan yang terbaik dan terindah tuk orangtua dan saudara kandungku selama ini? Karna dengan menikah, kewajibanku berpindah pada suami dan anak-anakku kelak.

Hanya Allah sebaik-baik sutradara cerita hidup dan aku percaya Ia memberikan cerita indah  tuk ku.


Sunday night, 20-9-2015

Comments

syifachenko said…
Subhanallah.
Semoga saya bisa mencontoh hal2 positif seperti ini.
Aminnn

Popular posts from this blog

Finally, I can ! -Last Part-

Hubungan Bahasa dengan Otak, Masyarakat, dan Budaya

International Culture Exchange Camp 2015 @ Udomsuksa School Thailand